Tentang

Tuesday 15 September 2015

 

     

  "SEJARAH DANA MBOJO"

(Sejarah tanah Bima)

Berawal dari sebuah rindu dan kesadaran akan tanah kelahiran, sejenak terlihat Kota Bima setelah ditinggal semakin nampak  keeksotisannya. Jika akan memasuki kawasan kota tepatnya jalan Ama Hami akan terlihat dan terpampang besar gapura besar bertuliskan “Maja Labo Dahu Aka Rasa Dou ” (Malu dan Takutlah di Kampung Orang). Tulisan itu adalah salah satu filsafat dou rasa mbojo (orang Bima) yang di pegang teguh masyarakat mbojo.

 

Add caption

 Kelangkaan sumber sejarah serta terbatasnya oknum sebagai narasumber merupakan penyebab utama dari kekurangan data sejarah. Apabila keadaan tersebut dibiarkan, bukan mustahil pada suatu saat akan sirna sumber sejarah ini bersama pemiliknya. Sementara beberapa naskah tertulis yang masih tersisa berangsur-angsur lapuk dimakan hari. Dan yang patut direnungkan bahwa saatnya kelak akan terputus hubungan sejarah generasi masa lalu dengan generasi masa kini karena tidak ada yang menjembatani. Bukankah dengan Ilmu sejarah ibaratnya pengelihatan tiga dimensi yakni dalam penyelidikan masa silam itu kita tidak bias melepaskan dari kenyataan-kenyataan masa kini serta masa kini tempat berpijak guna membuat perspektifnya masa depan.

 

         

Museum Belakang 'Asi Mbojo'

 

 
 
 

  Tarian Khas 'BIMA' 

Tari 'Wura Bongi Monca'

Selain menyaksikan seni pertunjukan Tari Sere, tim Indonesia Exploride juga disuguhi jenis tarian lain saat berada di Istana Bima, yaitu Tari Wura Bongi Munca atau tarian selamat datang khas masyarakat Dompu.

Tari Wura Bongi Munca juga berkembang pada masa pemerintahan Sultan Bima kedua yang bernama Sultan Abdul Kahir Sirajuddin, yang memerintah antara tahun 1640 – 1682. Wura Bongi Munca berarti tabur beras kuning, jadi dalam pertunjukkannya akan ada gerakan menabur beras kuning.

Jenis tarian ini biasanya dipentaskan oleh 4 – 6 orang remaja putri yang menari dalam gerakan – gerakan lembut sambil menyunggingkan senyum dan menaburkan beras kuning ke arah rombongan tamu yang disambut. Penaburan beras kuning ini memiliki makna bahwa bagi masyarakat Bima, tamu ada raja yang dapat membawa rezeki bagi rakyat dan negeri mereka.

Gendang besar, gong, tawa-tawa, dan sarone (sejenis seruling, tetapi terbuat dari daun lontar) adalah perangkat alat musik yang mengiringi Tari Wura Bongi Munca. Dahulu, irama musiknya terkesan lambat, tetapi seiring perkembangannya, irama musik pengiring tarian ini lebih atraktif dan gerakan-gerakannya pun semakin dinamis.

Hingga kini, Tari Wura Bongi Munca masih dipertunjukkan untuk menyambut tamu-tamu dalam acara-acara resmi pemerintahan setempat maupun di acara festival budaya. 

 

Budaya 'KAPANCA' sebelum Menikah

 Upacara  Peta Kapanca adalah salah satu bagian dari prosesi perkawinan Adat Bima. Biasanya upacara ini dilaksanakan sehari sebelum dilaksanakan Akad Nikah dan Resepsi perkawinan. Peta Kapanca adalah melumatkan Daun pacar(Inai) pada kuku calon pengantin wanita yang dilakukan secara bergantian oleh ibu-ibu dan tamu undangan yang semuanya adalah kaum wanita.


Pada zaman dahulu, setelah pengantin wanita tiba di UMA RUKA (Rumah Mahligai atau Peraduan) upacara ini dilaksanakan. Tujuh orang ibu secara bergiliran meletakan lumatan daun pacar pada telapak kaki dan tangannya. Lalu muncullah warna merah sebagai tanda bahwa  dia akan menjadi milik orang.
Apakah makna dari Upacara ini ? Kapanca merupakan peringatan bagi calon pengantin wanita bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi akan melakukan tugas dan fungsi sebagai ibu rumah tangga atau istri. Disamping itu, Kapanca dimaksudkan untuk memberi contoh kepada para gadis lainnya agar mengikuti jejak calon penganten wanita yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang ratu yang akan mengakhiri masa lajangnya sehingga mereka dapat mengambil hikmah. Upacara ini telah lama menjadi dambaan ibu-ibu dalam masyarakat Bima. Karena mereka juga mengharapkan putri-putrinya segera melewati upacara yang sama dalam menandai hari bahagia mereka
Dalam upacara ini juga disuguhkan Ziki Kapanca (Zikir Kapanca) yang dilantunkan oleh Ibu-ibu yang hadir. Hal ini terkadung maksud sebagai sebuah pengharapan kiranya kelak calon pengantin ini dapat mengayuh bahtera cinta menuju pantai bahagia.  Syair ziki kapanca bernuansa Islam yang liriknya mengandung pujian kepada Allah SWT dan Rasul. Usai acara Kapanca biasanya diisi oleh hiburan rakyat seperti gentaong dan Rawa Mbojo yang digelar semalam suntuk.

Pakaian khas Bima 'RIMPU'

 

Rimpu merupakan sebuah budaya dalam dimensi busana pada masyarakat Bima (Dou Mbojo). Budaya "rimpu" telah hidup dan berkembang sejak masyarakat Bima ada. Rimpu merupakan cara berbusana yang mengandung nilai-nilai khas yang sejalan dengan kondisi daerah yang bernuansa Islam (Kesultanan atau Kerajaan Islam).

Rimpu adalah cara berbusana masyarakat Bima yang menggunakan sarung khas Bima. Rimpu merupakan rangkaian pakaian yang menggunakan dua lembar (dua ndo`o) sarung. Kedua sarung tersebut untuk bagian bawah dan bagian atas. Rimpu ini adalah pakaian yang diperuntukkan bagi kaum perempuan, sedangkan kaum lelakinya tidak memakai rimpu tetapi ”katente” (menggulungkan sarung di pinggang). Sarung yang dipakai ini dalam kalangan masyarakat Bima dikenal sebagai Tembe Nggoli (Sarung Songket). Kafa Mpida (Benang Kapas) yang dipintal sendiri melalui tenunan khas Bima yang dikenal dengan Muna. Sementara sarung songket memiliki beberapa motif yang indah. Motif-motif sarung songket tersebut meliputi nggusu waru (bunga bersudut delapan), weri (bersudut empat mirip kue wajik), wunta cengke (bunga cengkeh), kakando (rebung), bunga satako (bunga setangkai), sarung nggoli (yang bahan bakunya memakai benang rayon).

Rumah Adat khas suku Bima 

'UMA LENGGE' 

 

 Di Kabupaten Bima terdapat rumah tradisional yang disebut “Uma Lengge”. Uma berarti berarti rumah dan lengge berarti mengerucut/pucuk yang menyilang. Uma lengge merupakan rumah tradisional peninggalan nenek moyang suku Bima.
Secara umum struktur uma lengge berbentuk kerucut setinggi 5 cm sampai 7 cm, bertiang 4 dari bahan kayu, beratap alang-alang yang sekaligus menutupi tiga per empat bagian rumah sebagai dinding dan memiliki pintu masuk dibagian bawah atap, terdiri atas atap rumah atau butu uma yang terbuat dari alang-alang, langit-langit atau taja uma yang terbuat dari kayu lontar, serta lantai tempat tinggal terbuat dari kayu pohon pinang atau pohon kelapa. Pada bagian tiang rumah juga digunakan kayu sebagai penyanggah, yang fungsinya sebagai penguat setiap tiang-tiang uma lengge.
Uma lengge terdiri dari 3 lantai. Lantai pertama dipergunakan untuk menerima tamu dan kegiatan upacara adat, lantai kedua berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus dapur, sementara itu lantai ketiga digunakan untuk menyimpan bahan makanan, seperti padi dan lain-lain.
Secara geografis uma lengge berlokasi di tiga tempat yaitu di Desa Maria Kecamatan Wawo, Desa Mbawa Kecamatan Donggo dan Desa Sambori Kecamatan Lambitu. Rumah tradisional Bima khususnya di wilayah Mbawa dan Padende (Donggo) disebut Uma Leme. Dinamai demikian karena rumah tersebut atapnya lebih runcing daripada uma lengge. Di Kecamatan Donggo juga terdapat lengge, meskipun memiliki sedikit perbedaan dengan uma lengge yang ada di Sambori maupun uma lengge yang ada di Wawo.
Seiring perubahan zaman dimana masyarakat lebih memilih tinggal di rumah yang lebih luas dan nyaman maka keberadaan uma lengge ini sudah semakin terkikis dan tertinggal. Fungsinya pun sudah dialihkan sebagai lumbung padi dan terpisah dari rumah penduduk. Seperti halnya uma lengge yang ada di Desa Maria Kecamatan Wawo, uma lengge sudah ditempatkan dan dikelompokkan jauh dari areal rumah penduduk. Hal ini dimaksud untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti ketika ada kebakaran atau bencana lain. Bila rumah tempat tinggalnya terbakar maka masih ada uma lengge sebagai lumbung yang menjadi hartanya atau sebaliknya.
Uma Lengge merupakan aset budaya bima dan warisan leluhur Suku Bima yang harus dijaga dan dilestarikan untuk para generasi yang akan datang.

 

Tempat-tempat Wisata 'BIMA'

Di Bima Ada Laut 'Belah' Ala Kisah Nabi Musa

 

 Pesona pantai di Indonesia memang tidak ada habisnya, termasuk Pantai Lariti. Pantai di Bima, NTB ini punya fenomena yang tak biasa. Di sana terdapat keajaiban alam dimana lautan bisa 'terbelah' seperti kisah Nabi Musa.

Satu lagi keindahan pantai yang unik di NTB. Ada Pantai Lariti di Kecamatan Lambu Sape, Kabupaten Bima. Pantai ini terletak tidak jauh dari Pelabuhan Sape, gerbang laut menuju Pulau komodo di NTT. Kalau dari Bandara M Salahuddin, Pantai Lariti bisa ditempuh dengan berkendara sekitar 45 menit.



Dari atas bukit sebelum turun menuju pantai, terlihat sebuah pulau kecil. Jaraknya kira-kira 250 meter dari bibir pantai. Pulau tersebut terpisahkan oleh air laut.

Namun saat surut, ada fenomena alam yang menakjubkan. Sebuah jalan setapak seperti jembatan pasir putih yang seolah-olah membelah laut, akan muncul di antara pulau kecil dan bibir pantai.

Jembatan pasir ini lebarnya sekitar 5 meter dengan panjang kurang lebih 250 meter. Lewat jembatan ini, wisatawan bisa jalan kaki ke pulau kecil di seberang. Tak ada lagi air laut yang memisahkan, sekejap lara pun sirna.

Sungguh menyenangkan ketika melihat air laut ada disamping kiri dan kanan. Seolah-olah menjadi pagar air bagi jembatan tersebut. Sungguh unik ketika tapak kaki menyentuh pasir putih lembut dan basah.

Sesampainya di pulau kecil, wisatawan bisa mendakinya. Pada bagian paling atas pulau, silahkan memanjakan mata Anda. Ada pemandangan laut yang terbentang luas dengan berbagai degradasi warna air.

Fenomena laut 'belah' ternyata ada juga di Pulau Jindo, Korea Selatan. Fenomena ini hanya terjadi dua kali dalam setahun.


Pantai Phi Phi Thailand Ada Di Kolo – Kota Bima NTB.

Bibir pantai So Sanggopa dengan keteduhan lautnya

Tulisan ini disadur dari liputan Media cetak harian Bima Ekspres, terbitan hari Rabu, 8/1, kemarin. Dan penulis mencoba meng-greget-kan ‘lukisan’ kata dalam kupasan tersebut tentang Pantai Kolo dengan menambah dan mengubah sedikit redaksi dari liputan itu tanpa mengurangi pesan yang disampaikan kepada Pembaca.

 

“Tak kenal Pantai Kolo, tak kenal Kota Bima” begitulah lontaran ungkapan tantangan dari beberapa warga Bima yang sempat Beriwisata di Pantai Kolo beberapa hari yang lalu. Sesungguhnya seindah apa sich pantai Kolo itu? Hal inilah yang membuat sebagian warga Kota dan Kabupaten Bima penasaran dan berjubel-jubel ke Pantai Kolo beberapa bulan terakhir ini.

 

Memang nyatanya, Pantai Kolo menyimpan sejuta rasa. Pemandangan alamnya Indah, deburan ombaknya menggoda, gulungan beruntun ombak di pesisir pantai itu memacu adrenalin, setiap insan penikmat ‘bibir pantai’, tak terkecuali bagi penulis. Tetapi, jika mengunjungi Kolo, anda sebaiknya memahami peta wisatanya agar memahami tujuan anda ber-Wisata ke Pantai Kolo yang belum tertata dengan baik saat ini oleh pemerintah maupun Investor (sementara ini).

 


Makanan Khas' Bima 'MANGGE MADA' (Gulai Jantung Pisang)

Post
Bahan-bahan yang dibutuhkan:
  •   1 buah jantung pisang kepok
  •  1 genggam kelapa parut (sangrai lalu dihaluskan)
  •  1 gelas santan kental dari 1 kelapa
  •  300gr udang (rebus tampa air, buang kulit dan kepalanya)
  •  1 butir jeruk nipis (ambil airnya) Bumbu-bumbu (potong-potong sesuai     selera)
  •  5 buah cabe keriting
  •  7 butir bawang merah
  •  5 buah belimbing wuluh
  •  Garam secukupnya 
Cara Membuatnya :
  • Siangi jantung pisang (ambil bagian putihnya)
  • Rebus sampai matang, angkat dan tiriskan, dipotong-potong lalu diperas (buang air getirnya)
  •  Campurkan dengan potongan cabe, bawang merah, belimbing dan kelapa gongseng serta garam.
  • Masukkan santan dan air jeruk nipis,
  •  terakhir masukkan udang yang sudah direbus.
Udang dapat digantikan dengan : Cumi atau Ikan Pari yang dipindang atau Cingur Sapi/Kulit yang dibakar terlebih dahulu.